Selamat Datang Di Blog Yannah PGSD

Sebagai wujud kontribusi saya sebagai mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), berikut saya posting artikel-artikel yang berkaitan dengan pendidikan dasar.

Silakan download seperlunya, sesuai etika yang ada. Sebutkan sumber-sumber bila Anda mem-posting ulang di blog Anda, maupun mempublikasikannya dalam bentuk apapun. Terima kasih.

Semoga semua tulisan yang ada bisa bermanfaat.

Hubungi penulis bila ada hal yang perlu didiskusikan...^_^

Rabu, 20 Januari 2010

MAPEL IPA SD - Tata Surya


TEORI BIG BANG (Terbentuknya Tata Surya)
Teori Big-Bang adalah teori Dentuman besar atau teori ledakan dahsyat. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini berasal dari kondisi super padat dan panas, yang kemudian mengembang sekitar 13.700 juta tahun lalu. Atau dengan kalimat yang sederhana, alam semesta berasal dari ketiadaan (titik bervolume nol) kemudian mengembang dan meluas.
Asal mula pemikiran teori ini adalah, ketika pada tahun 1929 seorang astronom Amerika Serikat bernama Edwin Hubble mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa dan menemukan fakta bahwa bintang-bintang selalu "bergerak menjauhi" kita. Ini menunjukkan bahwa alam semesta tidaklah statis sebagaimana teori materialisme (alam semesta tak hingga) yang menyatakan bahwa alam semesta sudah ada sejak dahulu kala dan akan terus ada selamanya.
Para ilmuwan juga percaya bawa “Big Bang” (dentuman besar) membentuk suatu sistem tata surya. Ide sentral dari teori ini adalah bahwa teori relativitas umum dapat dikombinasikan dengan hasil pemantauan dalam skala besar pada pergerakan galaksi terhadap satu sama lain, dan meramalkan bahwa suatu saat alam semesta akan kembali atau terus. Konsekuensi alami dari Teori Big-bang yaitu pada masa lampau alam semesta harus mempunyai suhu yang jauh lebih tinggi dan kerapatan yang jauh lebih tinggi.

Teori Big-bang yang tercantum dalam Al Qur’an
1. “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)
2. "Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30).

Minggu, 10 Januari 2010

Alternatif PMRI Dalam Matematika SD

Mengajar Matematika di SD tidak mudah. Selama ini, banyak siswa yang terjebak (atau bahkan sengaja menjebak dirinya sendiri) dalam paradigma bahwa Matematika itu sangat sulit. Karena itu, kadang materi sepele menjadi susah di mata siswa tersebut. Mengatasi ketakutan-ketakutan itu yang kini menjadi tugas guru.
Salah satu alternatif menjadikan pelajaran Matematika berkesan dan bermakna adalah melalui ketepatan guru memilih metode mengajar. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah salah satu metode yang bisa menjadi pilihan.
Secara umum, Pendidikan Matematika Realistik Indonesia mengadopsi model pembelajaran luar negeri, yang disebut Realistic Mathematics Education (RME). RME merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal.
Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik.
Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama.
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari.
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
Konsep RME di Indonesia kemudian dikenal sebagai Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
Menurut Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:
1. pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi,
2. dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,
3. informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan
4. pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Konsep PMRI sudah mulai diujicobakan di sekolah-sekolah. Dan hasilnya, banyak siswa yang sedikit memperoleh pencerahan dalam pembelajaran Matematika. Mereka tak lagi merasa takut oleh hantu bernama ‘matematika’.

Selasa, 05 Januari 2010

CONTOH RPP TEMATIK KELAS 3 SD

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) TEMATIK

Kelas/Semester : III (tiga)/1
Tema/Subtema : Diri Sendiri/Anggota Tubuh
Hari/Tanggal : Selasa/22 Desember 2009
Kompetensi Dasar :
1.1 Mengidentifikasi ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup (IPA)
1.2 Menentukan letak bilangan pada garis bilangan (Matematika)
1.3 Melakukan sesuatu berdasarkan penjelasan yang disampaikan secara lisan (Bahasa Indonesia)
Indikator :
1. IPA
• Menyebutkan ciri-ciri makhluk hidup
2. Matematika
• Mengenal garis dan pola bilangan
• Mengenal bilangan genap dan ganjil pada garis bilangan
3. Bahasa Indonesia
• Mendengarkan pembacaan petunjuk tentang cara melakukan sesuatu

I. Tujuan Pembelajaran
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran ini adalah:
- Siswa mampu menyebutkan ciri-ciri makhluk hidup (IPA)
- Siswa mampu mengenal garis dan pola bilangan (Matematika)
- Siswa mampu mengenal bilangan genap dan ganjil pada garis bilangan (Matematika)
- Siswa mampu memahami pembacaan petunjuk tentang cara melakukan sesuatu (Matematika)

II. Materi Pokok
- Ciri-ciri makhluk hidup
- Garis dan pola bilangan
- Bilangan genap dan ganjil
- Petunjuk melakukan sesuatu

III. Alat/Sumber Belajar
- Gambar makhluk hidup
- Lingkungan sekitar sebagai sumber belajar
- Gambar garis bilangan
- Bacaan petunjuk melakukan sesuatu

IV. Metode/Strategi
- Ceramah
- Diskusi kelompok
- Pengamatan
- Cooperative Script
- Tanya jawab
- Pemberian tugas

V. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan Pendahuluan
- Guru memberi salam dan berdoa
- Guru menanyakan kepada siswa tentang kabarnya, kegiatan pagi, dan sebagainya
Kegiatan Inti
- Guru menanyakan, “Apakah tadi pagi ada yang keramas saat mandi?”
- Setelah siswa menjawab “ada”, guru menyuruh siswa tersebut maju dan mengajak siswa lain maju juga
- Dua orang siswa itu kemudian diberi sebuah kertas berisi petunjuk mencuci rambut yang benar
- Salah satu siswa berperan menjadi pembaca, yang satunya menjadi pendengar
- Setelah itu, siswa yang menjadi pendengar harus mengulangi inti dari apa yang dibacakan dengan kalimatnya sendiri
- Guru memberikan reward berupa tepuk tangan dan pujian, dan mempersilakan siswa itu kembali ke tempat duduknya
- Guru memberikan kesimpulan dari apa yang tadi dilakukan
- Guru bertanya lagi ke siswa, “Mengapa rambut harus disampo?” Sampo ibarat obat bagi rambut agar tumbuh subur. Setelah itu, pembicaraan beralih ke anggota badan.
- Guru membagi siswa berkelompok masing-masing beranggotakan 4 orang
- Guru membagikan gambar makhluk hidup kepada masing-masing kelompok dan meminta mereka berdiskusi dalam kelompoknya
- Hasil diskusi ditulis dan dipresentasikan di depan kelas
- Setelah selesai proses diskusi, guru mempersilakan siswa kembali ke tempat duduk semula dan mencairkan suasana dengan bercerita dan tebak-tebakan bilangan (ganjil-genap)
- Guru menggambar di papan tulis sebuah garis panjang dengan titik-titik pada garis tersebut
- Guru menjelaskan letak bilangan pada garis bilangan, termasuk bilangan ganjil dan genap yang tadi diceritakan
- Guru memberikan tugas kepada siswa secara tertulis untuk dikerjakan di rumah, dan dikumpulkan pada pertemuan yang akan datang
Kegiatan Penutup
- Guru mengajak siswa meregangkan otot-otot sejenak
- Guru mengajak siswa berdoa bersama
- Guru mengakhiri pelajaran dengan salam

VI. Penilaian
Penilaian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan yang dilakukan siswa
2. Penampilan siswa dalam presentasi
3. Proses diskusi
4. Pemahaman siswa mendengarkan pembacaan petunjuk

Minggu, 20 Desember 2009

KEMBALIKAN GURU PADA FITRAHNYA

Oleh: Mukayanah

Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak terlepas juga dari pembicaraan mengenai guru sebagai salah satu pelaku pendidikan. Peran guru sangat berpengaruh terhadap segala proses pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan berada di tangan para guru.
Memang, ada beberapa pihak yang mengatakan, bahwa peran guru dapat digantikan oleh media. Apalagi sekarang, telah marak berbagai media. Dari yang klasik sampai yang sangat modern. Dari serba biasa sampai yang serba bisa. Akan tetapi, agaknya perlu juga kita pahami, peran guru seperti apakah yang mampu digantikan oleh media (baca: media pembelajaran)?
Secara fitrah, peran guru ada tiga macam. Pertama, guru berperan sebagai pengajar. Dalam hal ini, guru bertugas menyampaikan berbagai materi dan informasi. Guru memberikan ilmu berdasarkan apa yang diketahuinya. Masih ditambah pula berbagai wawasan dari sumber-sumber, buku, dan referensi lain. Peran guru ini adalah juga merupakan peran kognitif. Kedua, guru berperan sebagai pembimbing. Tugas atau peran ini lebih sulit daripada peran mengajar. Membimbing berarti mengarahkan. Tugas pengajaran ini dianggap berhasil jika siswa mampu memahami dan mengerti pengetahuan yang diberikan guru. Hal itu berarti, guru tidak hanya sekadar menjadi penyampai atau ‘penceramah’ semata, tetapi juga harus memiliki sifat keibuan atau kebapakan yang menjadikan siswa mampu menerapkan materi kepada aplikasi nyata. Inilah tugas guru sebagai pendorong sisi psikomotor. Peran guru yang ketiga ialah sebagai pendidik. Inilah peran paling sulit di antara semua peran guru. Jika dalam hal mengajar, guru cukup sekadar menyampaikan. Dalam perannya sebagai pembimbing, cukuplah pemahaman dan kepahaman siswa menjadi tolok ukurnya. Adapun dalam perannya sebagai pendidik, guru harus mampu mempersiapkan siswa agar bisa menjadi manusia seutuhnya. Guru harus menyiapkan generasi pemimpin masa depan, kader bangsa yang didambakan masyarakat. Keberhasilan peran ini tidak hanya jangka pendek saja, namun mencakup jangka panjang lintas generasi. Bisa jadi, proses pendidikan sekarang akan dapat dituai hasilnya beberapa tahun kelak, atau bahkan beberapa keturunan sesudahnya. Inilah yang sulit.
Maka, jika ada orang yang menganggap bahwa peran guru bisa digantikan oleh media, hal itu hanyalah omong kosong. Peran guru yang mampu digantikan oleh media hanyalah perannya sebagai pengajar. Dan memang, pengajaran dan pembelajaran bisa dilakukan di mana saja, ada ataupun tidak ada guru. Adapun peran guru yang lain yakni sebagai pembimbing apalagi pendidik, mustahil akan dapat digantikan oleh media apa saja.
Menyikapi hal tersebut, alangkah bijaknya jika para guru berinstrospeksi terhadap dirinya sendiri. Sudahkah ketiga peran itu dimainkan dengan baik dan memuaskan? Atau justru peran yang berjalan hanyalah sebagai pengajar tanpa mempedulikan peran-peran lainnya?
Guru. ‘Digugu lan ditiru’, begitu istilah dalam bahasa Jawa. Itu tentu saja mengindikasikan bahwa dalam pribadi seorang guru haruslah selalu terdapat teladan di dalamnya. Harus ada sisi kehidupan yang lebih baik di antara lingkungan sekitarnya. Juga harus senantiasa menjadi penengah dalam berbagai problem, baik secara khusus di lingkungan sekolah maupun secara umum dalam masyarakat.
Di sekolah, guru harus mampu mengajar, membimbing, dan mendidik siswa. Apalagi sekarang, eksistensi guru benar-benar terjamin dengan adanya Undang-Undang Guru dan Dosen yang telah disahkan 2005 lalu. Jangan sampai guru hanya mengejar penghasilan semata tanpa memikirkan kualitas diri. Jika dulu guru mengajar seadanya, maka sekarang guru haruslah mengajar secara kreatif. Jika dulu guru hanya sekadar ‘ceramah’ satu arah dalam mengajar, maka sekarang haruslah berusaha memotivasi keaktifan siswanya.
Guru pun harus mampu totalitas di bidangnya. Kehidupan yang telah terjamin hendaknya mampu menjadikan guru berkonsentrasi dan fokus untuk meningkatkan kemampuannya. Dan akhirnya, guru benar-benar layak untuk digugu dan ditiru.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang guru biasanya juga dijadikan tolok ukur akhlak oleh orang-orang di sekitarnya. Sebutan ‘Pak Guru’ atau ‘Bu Guru’ seolah membuka paradigma masyarakat bahwa orang tersebut pantas dicontoh. Bagaimana tidak? Anak-anak umumnya lebih percaya dengan gurunya dibandingkan dengan orang tuanya. Oleh karena itu, hendaknya guru jangan sampai mengecewakan orang lain. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Dan ucapan yang paling baik adalah ajakan kepada kebenaran.
Semoga guru bisa menjadi figur kebanggaan masyarakat.

Jumat, 18 Desember 2009

Urgensitas Pendidikan Dasar

Oleh: Mukayanah

Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar didik (mendidik), yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Berdasarkan pengertian di atas, pendidikan selalu berkaitan erat dengan tingkah laku seseorang. Sebagai makhluk sosial yang pada hakikatnya tidak bisa hidup sendiri, maka pengaruh tingkah laku sangat besar terhadap proses kehidupan. Kepribadian seseorang akan membawa dampak terhadap kehidupan sosialnya. Begitu sebaliknya.

Pendidikan itu kemudian dibagi menjadi bertingkat-tingkat, yakni:
1. Pendidikan anak usia dini
2. Pendidikan dasar
3. Pendidikan lanjutan
4. Pendidikan tinggi

Fokus pendidikan anak usia dini adalah pengenalan lingkungan sekitar. Pengenalan keadaan keluarga, pengenalan teman-teman sebaya, pengenalan kosakata baru, dan seterusnya.

Fokus pendidikan dasar adalah pembentukan akhlak dan nilai-nilai. Akhlak dan nilai ini akan berlanjut hingga pendidikan lanjutan maupun pendidikan tinggi. Keberhasilan penanaman nilai pada tingkat dasar akan membawa keberhasilan pula pada tingkat selanjutnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa ada faktor lain yang turut berpengaruh, misal lingkungan pergaulan dan sifat bawaan.

Pada pendidikan dasar, pondasi sikap mulai ditanamkan pada anak. Di sinilah letak urgensitas pendidikan dasar dalam dunia pendidikan secara umum. Anak pada taraf ini banyak diajari tentang peran dirinya dalam ligkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Maka, sudah merupakan keniscayaan apabila pendidikan dasar harus mampu mencetak luaran yang berkarakter, tidak hanya cerdas secara kognitif saja. Sebab hakikat pendidikan dasar bukanlah pendidikan yang meenghasilkan ahli, namun orang yang mampu berbaur secara baik dalam masyarakat. Adalah kekeliruan jika kita menuntut seorang lulusan pendidikan dasar harus memiliki berbagai keahlian. Fokus untukmencetak ahli adalah tanggung jawab pendidikan tinggi, bukan pendidikan dasar.

Urgensitas pendidikan dasar sebagai pencetak generasi yang mandiri dan bermoral. Dan ini seharusnya yang menjadi tujuan dari pendidikan dasar.

Rabu, 16 Desember 2009

PEMBELAJARAN IPS DI SD: JAUH DARI TUJUAN

Oleh: Mukayanah

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006, tujuan pembelajaran IPS di tingkat Sekolah Dasar adalah sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global

Sejenak mari kita merenung. Sejauh ini, sudahkah pembelajaran IPS di SD mengacu pada tujuan tersebut?
Selama ini fokus guru-guru IPS hanya sebatas pada pengenalan konsep masyarakat dan sosial (tujuan pertama). Tujuan yang lain, pengembangan kemampuan dasar berpikir logis dan kritis, pengembangan komitmen dan kesadaran nilai-nilai sosial, serta pengembangan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan sebegainya hanya sepintas lalu saja. Artinya, belum ada keseimbangan antara pengembangan sisi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Guru mengasah kemampuan berpikir siswa sebatas berpikir konsep IPS.
Benarkah demikian?
Luangkan waktu sebentar untuk menengok proses pembelajaran IPS di SD sekitar rumah. Seorang guru bertanya, “Di manakah ibukota Kamboja?”, atau “Pulau manakah yang mirip kepala burung?” atau lebih ekstrem lagi, “PR-nya sudah dikerjakan belum?”
Setelah itu, apa yang terjadi? Siswa akan menjawab pertanyaan guru sesuai apa yang telah mereka hafalkan. Termasuk pertanyaan ekstrem yang terakhir tadi, siswa akan menjawab dengan dua alternatif jawaban: sudah atau belum. Amati lagi reaksi guru. Saat siswa menjawab sudah, guru akan tersenyum senang. Dan ketika siswa menjawab belum, guru hanya akan bertanya, “kenapa tidak dikerjakan?”
Okelah, pertanyaan berhenti di situ. Apapun jawaban yang diberikan siswa, guru tidak akan peduli. Karena fokus permasalahannya adalah, bahwa siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah akan menyandang label “siswa malas”. Pun seandainya siswa itu TIDAK mengerjakan PR dikarenakan terlalu sibuk membantu pekerjaan orang tua, atau sibuk ikut ayahnya ke sawah, atau lupa, atau saudaranya ada yang datang dan mengajaknya jalan-jalan, atau yang lainnya lah. Bukankah itu sosial dan manusiawi???
Apakah selama ini IPS memang hanya diadakan untuk menjadikan siswa yang pandai menjawab soal ibu kota, nama gunung, arah mata angin, kenampakan alam, sumber daya alam, dan lain-lain yang semuanya sebatas konsep pengenalan?
Ironis!
Sementara guru di Indonesia masih disibukkan dengan bagaimana cara agar siswanya paham tentang ini-itu, guru di luar sana sudah fokus kepada penanaman nilai-nilai. Sebutlah Amerika. Pembelajaran IPS SD di sana bukan pada hafalan materi, melainkan pada bagaimana cara antri, bagaimana cara menghargai orang lain, bagaimana cara bertanya kepada orang lain, bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, dan sebagainya. Dan itu dirangkum menjadi sebuah kurikulum yang membingkainya.
Bagaimana yang terjadi di Indonesia? Ujian Nasional, teknik mengajar, beban belajar dalam kurikulum, masih selalu menjadi momok sampai detik ini. Lantas kapan tujuan pembelajaran yang sebenarnya akan terwujud? Wallahu a’lam.